Arbain Al-Jiyad Hadits 9: Kaum Dhuafa Salah Penentu Kemenangan

Submitted by admin on Wed, 09/16/2020 - 03:05
Penulis
Tauhid wal Jihad

عَنْ سَعْدٍ بْنُ أَبيِ وَقَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam: “Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena adanya doa orang-orang yang lemah (diantara) kalian.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam meletakkan kaidah teramat penting bagi pemimpin dalam merawat umat. Kaidah seni kepemimpinan serta pengorganisasian di dalam Islam yang tidak dimiliki oleh literatur umat lainnya yaitu mengistimewakan orang-orang dhaif (lemah) dan menempatkannya sebagai faktor penentu kemenangan serta kemuliaan seluruh umat Islam.

Penentuan kesuksesan sebuah organisasi mencakup negara, jamaah maupun bentuk yang paling kecil dalam sebuah lembaga bahkan keluarga tergantung sikap tulus mereka pada kaum dhuafa diantara mereka. Cinta, kasih sayang dan perhatian pemimpin bukan berdasar keutamaan atau kekuatan seseorang seperti fisik, harta, kecerdasan dan sebagainya. Tetapi kaidah yang benar perhatian itu berdasar tuntutan kebutuhan umat dan posisi kelemahannya.

Membina serta merawat umat disesuaikan dengan kebutuhan fase yang sedang dilaluinya atau ujian yang sedang dialaminya. Seperti ibu membesarkan anaknya. Perhatiannya sesuai dengan fase dan ujian yang sedang dialaminya.

Orang dhaif lebih diperhatikan daripada orang kuat, karena orang yang memiliki kekuatan mampu mencari solusi dengan kekuatannya tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menggambarkannya seperti unta yang hilang di padang pasir. Unta adalah binatang yang kuat, meskipun tersesat dia mampu bertahan hidup hingga bertemu kembali tuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا

“Unta itu mempunyai kantong air dan kakinya bersepatu sehingga dia bisa menempuh perjalanan mencari bekal air dan dapat makan rerumputan hingga pemiliknya menemukannya”. (Al-Bukhari)

Demikian pula orang kuat, dia mampu mencari makanan dan minuman serta bertahan hidup dengan kekuatannya tersebut. Namun tidak bagi orang lemah, dia perlu bantuan orang lain untuk mencarikan makanan. Sehingga salah satu pelajaran dalam hadits ini, perbuatan ihsan bagi pemimpin ialah memenuhi kebutuhan si dhaif.

Pada umumnya, tatanan masyarakat cenderung hanya menghargai kelompok yang kuat. Sedangkan kelompok yang lemah akan ditindas atau hanya menjadi objek dari kekuasaan. Dalam masyarakat Islam, kelompok lemah memiliki kedudukan yang penting dalam menguatkan sosial.

Tatanan masyarakat tidak akan lurus hanya dengan ilmu saja tanpa kekuatan. Tapi tidak ada kekuatan tanpa kasih sayang, tidak ada kasih sayang tanpa tanggung jawab, tidak ada tanggung jawab tanpa musyawarah. Inilah jalan kehidupan masyarakat islami.

Alam ghaib hanya ghaib dari wujud yang bisa disaksikan mata, tetapi dia tidak ghaib dalam pengaruh di kehidupan kita di dunia. Pergerakan ghaib terikat dengan sesuatu yang kasat mata dari doa, ketaatan atau maksiat yang mempengaruhi secara nyata dalam kehidupan di dunia.

Demikian pula keberadaan orang-orang dhaif memiliki suatu pengaruh kebaikan dalam tatanan masyarakat. Pengaruh kebaikan tersebut muncul dari doa-doa tulus dan ibadah khusyuk yang dilakukan oleh orang-orang dhaif.

Kaum muslimin adalah umat harakah (pergerakan), lahir dengan konsep harakah yang terus bergerak dan berkembang tanpa henti menggalang siapapun apapun kedudukannya di masyarakat, kuat maupun lemah. Demikian juga gerakan jihad pada umat ini yang merupakan gerakan asas dan prinsip dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Bahkan umat tidak akan mampu hidup tanpa jihad berdasarkan hadits:

مَا غُزِيَ قَوْمٌ قَطُّ في عُقْرِ دَارِهِمْ إِلاَّ ذَلُّوا

“Bangsa yang mendapat serbuan dinegaranya sendiri pasti terhina.” (An-Nasai)

Umat yang prinsip awal seluruhnya menjadi mujahid ternyata tidak terkumpul semuanya orang-orang yang kuat, pemberani dan sehat. Umat ini didukung oleh kelompok masyarakat lemah, penakut, cacat fisik dan si sakit yang mendukung gerakan jihad. Kelompok lemah ini bukan menjadi halangan atau sandungan bagi jihad keumatan.

Berbeda dengan konsep masyarakat lainnya misalnya seperti masyarakat Sparta yang merupakan negara dengan militer terkuat di zaman Yunani Kuno. Seluruh masyarakatnya diseleksi hanya diperuntukkan bagi yang kuat. Sedangkan orang-orang lemah akan dibuang dengan melemparkannya dari atas gunung. Anggapannya, orang-orang lemah tidak dibutuhkan.

Hadits Nabawi ini merupakan penegasan akan pengaruh alam ghaib pada alam nyata. Orang-orang dhaif merupakan tempat jatuhnya pandangan Allah ta’ala. Karena mereka lebih membutuhkan dari orang lain yang lebih kuat.

Sebagaimana ujian merupakan rahmat Allah, maka keadilan Allah yaitu menyertakan kemudahan pada kesulitan, memimpin orang-orang dhaif, memberi kebutuhan orang yang membutuhkan yang merupakan keadilan ilahiyah. merupakan sifat Allah pada hamba-Nya yang Allah sendiri sematkan. Sehingga apabila ditemukan dalam hati hamba rasa sayang dengan orang-orang dhaif menjadi sebab turunnya kasih sayang Allah.

Orang-orang dhaif adalah yang pecah hatinya sehingga ketika mereka meminta pada Allah memintanya dengan jujur. Meminta karena benar-benar membutuhkan. Demikian pula mayoritas penghuni janah adalah orang-orang lemah dan mereka merupakan pengikut mayoritas para Nabi.

Allah telah menyampaikan dalam Al-Quran tentang akibat dari meninggalkan jihad yaitu menerima kebencian dan kemarahan dari para dhuafa yang ditujukan pada orang-orang kuat. Allah berfirman:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’”. (An-Nisa: 75)

Marahnya kaum dhuafa menjadi sebab murkanya Allah seperti Rasulullah sabdakan kepada Abu Bakar:

لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبتَ رَبَّكَ

“Jika kamu membuat mereka marah, maka Rabbmu juga akan murka padamu.”

Meskipun hadits ini menunjukkan keutamaan orang-orang dhaif daripada orang-orang kuat, yaitu keutamaan bahwa rizki dan kemenangan orang-orang kuat tergantung dengan sikap mereka pada orang-orang lemah bukan berarti menunjukkan keimanan orang lemah pasti lebih tinggi dari orang kuat. Sebab jika kekuatan dan ketinggian iman berkumpul dalam diri seseorang maka itu lebih utama daripada iman tanpa kekuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٍ

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan.” (Muslim)

Tujuan-tujuan Islam baik dalam individu maupun jamaah tidak akan berdiri kecuali dengan kekuatan. Kebutuhan pada orang-orang lemah tidak berarti orang lemah tersebut lebih baik. Sebab itu terdapat perintah menggalang kekuatan seperti firman Allah:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An-Nisa: 5)

Harta merupakan pondasi pokok kehidupan dan tidak diperbolehkan merusaknya dengan memberikannya pada orang yang tidak mampu mengelola serta menjaganya.

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk menyusun kekuatan, keluar dari kelemahan menuju kekuatan:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (Al-Anfal: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyemangati sahabat untuk menyempurnakan sebab-sebab kekuatan ketika mereka dalam kondisi lemah. Yaitu saat umrah qadha pada Zulqaidah tahun ketujuh hijriyah. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam mengambil miqat di Ya’jij suatu tempat dekat kota Makah dan tinggal di sana selama tiga hari. Beliau bersabda ketika memasuki masjid dengan menampakkan seluruh lengan kanannya dalam pakaian ihram:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً أَرَاهُمُ الْيَوْمَ مِنْ نَفْسِهِ قُوَّة

“Semoga Allah merahmati seseorang yang hari ini mampu menunjukkan kekuatannya dihadapan musyrikin Makah.”

Keutamaan orang lemah karena ketidakmampuan mereka untuk mencapai kekuatan sedangkan orang yang berlemah-lemah maka dia mendapatkan dosa karena meninggalkan kewajiban.

28 Muharam 1442 H / 16 September 2020